Senja semakin dalam. Menyisakan penyesalan-penyesalan
yang hinggap di benakku seharian. Sinar matahari semakin jauh meninggalkan
berkas-bekas yang—dalam hitungan beberapa detik saja—menyisakan kegelapan
untukku. Sendirian, aku masih menekuri taman di hadapanku. Hamparan bunga-bunga
yang warnanya samar-samar, tak terlihat sebagaimana warna aslinya.
Aku duduk di
sebuah bangku taman dan di belakangku ada sebuah kolam ikan—yang setiap aku
mengunjunginya, aku selalu menggoda ikan-ikan yang berenang di dalamnya. Aku
masih asyik dengan buku yang sedang
ingin kutamatkan. Ini kali pertama aku duduk di taman ini untuk membaca buku.
Tidak mudah. Karena lebih tepatnya aku lebih banyak melamun memikirkan
seseorang ketimbang membaca buku.
Aku memandangi sudut taman di mana orang-orang yang
mengunjungi taman ini menjadikannya sebuah ‘pintu masuk’. Sekelebat aku
melihat, seperti ada orang lain selain diriku. Takut-takut, aku memperhatikan
dengan seksama siapa sebenarnya yang berada di sana. Dengan dibantu penerangan
lampu taman yang seadanya, aku mulai mengetahui siapa yang datang.
“Hey, Ra. sudah kutebak kau ada di sini,” sapanya padaku
dengan lembut, mengambil tempat duduk di sampingku. Bayangan yang memenuhi isi lamunanku. Dia mewujud nyata dan
benar-benar datang padaku.
“Oh, Adya. Kukira siapa. Aku agak takut tadi ketika ada
yang datang diam-diam dan mendekat,” balasku dengan rasa terkejut yang
kututup-tutupi. Aku merasa ada yang bergejolak di hatiku ketika ia mendaratkan
tangannya di kepalaku dan membelai rambutku. Pipiku terasa panas. Untung saja
penerangan taman tidak dapat menampakkan wajahku dengan jelas di matanya.
“Makanya… sudah gelap begini bukannya segera pulang…”
kata-katanya terdengar lembut seperti irama petikan-petikan gitar yang sering
diperdengarkannya padaku. Hampir saja, jika aku tidak dapat menahan diri, aku
sudah jatuh ke dalam pelukannya. Mencari rasa aman di dalam dekapan kedua
tangannya.
“Hehehe… iya nih, terlalu asyik baca buku ini,” jawabku
sekenanya sambil menujukkan buku yang kubaca.
“Masih buku yang kemarin?” Tanyanya sambil menarik
tangannya—yang tadi membelai rambutku—dan membenarkan posisi duduknya.
“Iya…” jawabku singkat sambil malu-malu. Ada hening
sejenak di antara kami.
“Oh iya, kamu kok tau kalo aku ada di sini?” Tanyaku
penasaran. Aku tidak pernah mengajaknya bahkan memberitahunya kalau aku sering
ke taman ini.
“Yaaa taulaaah,” aku mengernyitkan dahi. Kata-katanya
menyiratkan sesuatu yang meninggalkan tanda tanya di kepalaku. Aku ingin
bertanya lebih lanjut untuk menemukan pembenaran atas tanda tanyaku ini. Tapi
urung, dia segera beranjak dan menggandengku pergi dari tempat ini.
“Ayo, Ra, kuantar pulang,” lebih tepatnya memaksa bukan
mengajak, karena kami sudah berada dalam posisi berjalan. Senja itu akan menjadi
senja yang mungkin tak akan kulupakan, bahkan akan kuabadikan dalam buku
diary-ku.
***
Aku telah mengaguminya sejak lama, sekitar dua bulan yang
lalu. Tapi sayangnya dia tidak pernah tau bahwa aku menyukainya. Dia orang yang
cuek. Setahuku—dari teman-teman—banyak wanita yang berusaha mendekatinya. Tapi
tidak pernah ada yang berhasil karena sudah putus asa dengan sikap cueknya itu.
aku tidak tahu apa yang membuat wanita-wanita—yang pernah mendekatinya
dulu—tertarik padanya. Wajah? Kurasa tidak. Sikapnya? Kurasa tidak juga. Dia
bahkan tidak merawat dirinya. Aku tahu karena aku pernah beberapa waktu
melewati hari bersamanya dan tentunya bersama teman-teman yang lain. Aku pun
tidak tahu apa yang membuatku tertarik padanya. Dia orang yang baik. Itupun karena
aku sudah mengenalnya cukup lama. Dan hanya teman-teman di sanggar teater yang
mengetahuinya.
Tapi ada yang aneh dari sikapnya akhir-akhir ini. Ada
sedikit perhatian yang kurasakan darinya. Padahal, bukannya dia biasanya cuek? Pikirku. Aku bertanya-tanya. Mencari
kemungkinan-kemungkinan yang mungkin bisa menjadi pembenaran atas sikap
perhatiannya padaku. Apa mungkin dia mengetahu perasaanku padanya sehingga dia
berusaha menghargaiku? Hingga terbersit satu pikiran di benakku. Apa mungkin dia juga menyukaiku? Kalau
benar begitu, aku akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini. Ah,
tapi tidak mungkin. Aku dan dia kan berbeda jauh. Tidak ada kemiripan
sama sekali, bahkan kesukaan juga tidak ada yang sama. Kami juga tidak pernah
memilki obrolan seru untuk menghabiskan waktu bersama-sama. Yang ada hanyalah
obrolan singkat penuh kecanggungan di antara kami.
Pernah aku bertanya pada
seorang temanku di sanggar kami—yang juga teman dekatnya—“apakah benar dia juga
memilki perasaaan padaku?” tanyaku memberanikan diri. “Ya nggak tau lah, cari
tau sendiri dong. Keenakan kamu dong kalo dikasih tau terus,”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar