Total Tayangan Halaman

2015-06-29

Kesunyian



Senja semakin dalam. Menyisakan penyesalan-penyesalan yang hinggap di benakku seharian. Sinar matahari semakin jauh meninggalkan berkas-bekas yang—dalam hitungan beberapa detik saja—menyisakan kegelapan untukku. Sendirian, aku masih menekuri taman di hadapanku. Hamparan bunga-bunga yang warnanya samar-samar, tak terlihat sebagaimana warna aslinya.
Aku duduk di sebuah bangku taman dan di belakangku ada sebuah kolam ikan—yang setiap aku mengunjunginya, aku selalu menggoda ikan-ikan yang berenang di dalamnya. Aku masih asyik dengan buku  yang sedang ingin kutamatkan. Ini kali pertama aku duduk di taman ini untuk membaca buku. Tidak mudah. Karena lebih tepatnya aku lebih banyak melamun memikirkan seseorang ketimbang membaca buku.
Aku memandangi sudut taman di mana orang-orang yang mengunjungi taman ini menjadikannya sebuah ‘pintu masuk’. Sekelebat aku melihat, seperti ada orang lain selain diriku. Takut-takut, aku memperhatikan dengan seksama siapa sebenarnya yang berada di sana. Dengan dibantu penerangan lampu taman yang seadanya, aku mulai mengetahui siapa yang datang.
“Hey, Ra. sudah kutebak kau ada di sini,” sapanya padaku dengan lembut, mengambil tempat duduk di sampingku. Bayangan yang memenuhi  isi lamunanku. Dia mewujud nyata dan benar-benar datang padaku.
“Oh, Adya. Kukira siapa. Aku agak takut tadi ketika ada yang datang diam-diam dan mendekat,” balasku dengan rasa terkejut yang kututup-tutupi. Aku merasa ada yang bergejolak di hatiku ketika ia mendaratkan tangannya di kepalaku dan membelai rambutku. Pipiku terasa panas. Untung saja penerangan taman tidak dapat menampakkan wajahku dengan jelas di matanya.
“Makanya… sudah gelap begini bukannya segera pulang…” kata-katanya terdengar lembut seperti irama petikan-petikan gitar yang sering diperdengarkannya padaku. Hampir saja, jika aku tidak dapat menahan diri, aku sudah jatuh ke dalam pelukannya. Mencari rasa aman di dalam dekapan kedua tangannya.
“Hehehe… iya nih, terlalu asyik baca buku ini,” jawabku sekenanya sambil menujukkan buku yang kubaca.
“Masih buku yang kemarin?” Tanyanya sambil menarik tangannya—yang tadi membelai rambutku—dan membenarkan posisi duduknya.
“Iya…” jawabku singkat sambil malu-malu. Ada hening sejenak di antara kami.

“Oh iya, kamu kok tau kalo aku ada di sini?” Tanyaku penasaran. Aku tidak pernah mengajaknya bahkan memberitahunya kalau aku sering ke taman ini.
“Yaaa taulaaah,” aku mengernyitkan dahi. Kata-katanya menyiratkan sesuatu yang meninggalkan tanda tanya di kepalaku. Aku ingin bertanya lebih lanjut untuk menemukan pembenaran atas tanda tanyaku ini. Tapi urung, dia segera beranjak dan menggandengku pergi dari tempat ini.
“Ayo, Ra, kuantar pulang,” lebih tepatnya memaksa bukan mengajak, karena kami sudah berada dalam posisi berjalan. Senja itu akan menjadi senja yang mungkin tak akan kulupakan, bahkan akan kuabadikan dalam buku diary-ku.

***

Aku telah mengaguminya sejak lama, sekitar dua bulan yang lalu. Tapi sayangnya dia tidak pernah tau bahwa aku menyukainya. Dia orang yang cuek. Setahuku—dari teman-teman—banyak wanita yang berusaha mendekatinya. Tapi tidak pernah ada yang berhasil karena sudah putus asa dengan sikap cueknya itu. aku tidak tahu apa yang membuat wanita-wanita—yang pernah mendekatinya dulu—tertarik padanya. Wajah? Kurasa tidak. Sikapnya? Kurasa tidak juga. Dia bahkan tidak merawat dirinya. Aku tahu karena aku pernah beberapa waktu melewati hari bersamanya dan tentunya bersama teman-teman yang lain. Aku pun tidak tahu apa yang membuatku tertarik padanya. Dia orang yang baik. Itupun karena aku sudah mengenalnya cukup lama. Dan hanya teman-teman di sanggar teater yang mengetahuinya.
Tapi ada yang aneh dari sikapnya akhir-akhir ini. Ada sedikit perhatian yang kurasakan darinya. Padahal, bukannya dia biasanya cuek? Pikirku. Aku bertanya-tanya. Mencari kemungkinan-kemungkinan yang mungkin bisa menjadi pembenaran atas sikap perhatiannya padaku. Apa mungkin dia mengetahu perasaanku padanya sehingga dia berusaha menghargaiku? Hingga terbersit satu pikiran di benakku. Apa mungkin dia juga menyukaiku? Kalau benar begitu, aku akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini. Ah,  tapi tidak mungkin. Aku dan dia kan berbeda jauh. Tidak ada kemiripan sama sekali, bahkan kesukaan juga tidak ada yang sama. Kami juga tidak pernah memilki obrolan seru untuk menghabiskan waktu bersama-sama. Yang ada hanyalah obrolan singkat penuh kecanggungan di antara kami.
Pernah aku bertanya pada seorang temanku di sanggar kami—yang juga teman dekatnya—“apakah benar dia juga memilki perasaaan padaku?” tanyaku memberanikan diri. “Ya nggak tau lah, cari tau sendiri dong. Keenakan kamu dong kalo dikasih tau terus,”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar